ORIENTASI NILAI BUDAYA
Orientasi
nilai budaya atau yang bisa juga disebut sebagai sistem nilai budaya adalah
konsep – konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat yang
berkaitan dengan apa yang diinginkan, pantas, dan berharga, yang mempengaruhi
individu yang memilikinya dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia.
Lalu, apa
perbedaan antara orientasi nilai budaya tersebut dengan sikap mental? Menurut
Koentjaraningrat, sikap mental (attitude)
merujuk pada individu dan nantinya secara sekunder kepada masyarakat. Sikap
merupakan suatu disposisi atau keadaan mental seseorang untuk bereaksi terhadap
lingkungannya.
Kerangka Kluckhohn Mengenai 5 Masalah Besar Dalam Hidup yang Menentukan
Orientasi Nilai Budaya Manusia.
Kluckhohn
dalam bukunya yang berjudul “Variations
in Value Orientation” menyatakan bahwa sistem nilai budaya dalam semua
kebudayaan di dunia sebenarnya mengenai 5 masalah pokok dalam kehidupan
manusia.
Masalah Dasar dalam Hidup
|
Orientasi Nilai Budaya
|
||
Hakikat
Hidup (HK)
|
Hidup
itu buruk.
|
Hidup
itu baik.
|
Hidup
itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik.
|
Hakikat
Karya (HK)
|
Karya
itu untuk nafkah hidup.
|
Karya
itu untuk kedudukan, kehormatan, dsb.
|
Karya
itu untuk menambah karya.
|
Persepsi
Manusia Tentang Waktu (MW)
|
Orientasi
ke masa kini.
|
Orientasi
ke masa lalu.
|
Orientasi
ke masa depan.
|
Pandangan
Manusia Terhadap Alam (MA)
|
Manusia
tunduk kepada alam yang dahsyat.
|
Manusia
menjaga keselarasan dengan alam.
|
Manusia
berusaha menguasai alam.
|
Hakikat
Hubungan Manusia Dengan Sesamanya (MM)
|
Orientasi
kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong
royong).
|
Orientasi
vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh – tokoh atasan dan berpangkat.
|
Individualisme
menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri.
|
Penjelasan:
1.
Masalah mengenai hakikat dari hidup
manusia (HK).
a. Hidup itu buruk.
Hidup itu ditanggapi oleh manusia sebagai hal yang buruk jika
manusia tersebut mengalami kesulitan atau kegagalan dalam hidupnya dan
berpendapat bahwa hidup itu negatif.
Sebagai contoh, di Amerika terdapat suku Indian yang memiliki
paham bahwa setiap bayi yang lahir itu adalah suatu kesialan. Dan jika ada
orang yang mati, itu merupakan suatu hal yang menggembirakan. Hal tersebut terjadi
karena mereka berpendapat bahwa bayi yang lahir tersebut nantinya hanya akan
mendapat kesulitan dan kesengsaraan dalam menjalani hidup di dunia. Mereka juga
berpendapat bahwa yang mati akan bahagia hidup di alam sana karena telah
terbebas dari masalah – masalah dalam hidup. Sehingga ketika ada bayi lahir,
mereka menyambutnya seperti pemakaman. Sedangkan ketika ada kematian, mereka
merayakannya seperti pesta.
b. Hidup itu baik.
Hidup itu sebagai suatu hal yang baik jika kita beranggapan
bahwa hidup merupakan suatu anugerah dari Tuhan dan merupakan hal yang
berdampak positif.
Sebagai contoh, seorang yang sukses di dunia pasti beranggapan
bahwa hidup di dunia merupakan anugerah dari Tuhan karena bisa menikmati hidup
serta sukses di dunia.
c. Hidup itu buruk tetapi manusia wajib
berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik.
Sebagai contoh, seorang yang kurang mampu dan serba
kekurangan, pasti akan beranggapan bahwa hidup itu buruk karena banyak
mengalami kesulitan. Namun, orang yang memiliki agama pasti beranggapan bahwa
hidup memang buruk tetapi akan menjadi lebih baik apabila kita berikhtiar.
Sehingga, untuk mencapai suatu hidup yang lebih baik tersebut, manusia perlu
berikhtiar untuk mencapai kesuksesan dan kemudahan dalam hidup.
2.
Masalah mengenai hakikat dari karya
manusia (MK).
a. Karya itu nafkah hidup.
Sebagai contoh, seorang pencipta lagu yang membuat berbagai
lagu untuk penyanyi lain. Orang lain pasti beranggapan bahwa karya hasil
ciptaannya yang berupa lagu untuk penyanyi baru tersebut adalah hal yang
membuat penyanyi tersebut tenar. Namun, sebenarnya di sisi lain seorang
pencipta lagu beranggapan bahwa karyanya itu dibuat untuk orang lain agar
mendapat royalti atau pendapatan dari penyanyi baru tersebut. Jadi, sebuah
karya diciptakan untuk menafkahi hidup sang pembuat karya tersebut.
b. Karya itu untuk kedudukan,
kehormatan, dsb.
Sebagai contoh, Bill Gates membuat sebuah karya berupa
Operating System yang diproduksi oleh perusahaannya yaitu Microsoft. Ia membuat
karya tersebut awalnya bukan karena ingin menjadi orang yang nantinya kaya
raya. Namun, ia membuat karya tersebut agar mendapat penghargaan dan kehormatan
atas karyanya yang mampu memperlancar segala kegiatan IT dan memotivasi orang
lain untuk berkarya kreatif seperti dirinya, sehingga ia mampu menjadi Presiden
Microsoft. Jadi, karya itu dianggap sebagai alat untuk mendapat kehormatan atau
kedudukan yang lebih tinggi.
c. Karya itu untuk menambah karya.
Sebagai contoh, seorang penyair atau pembuat puisi membuat
puisi tersebut selain untuk berkarya, juga untuk menambah karya – karyanya yang
dulu sudah ada agar bertambah banyak dan menjadi terkenal karena puisinya yang
banyak.
Contoh yang lain yaitu seorang pencipta lagu keroncong. Ia
membuat karyanya itu bukan untuk mendapatkan uang, tetapi lebih kepada untuk
menambah lagu keroncong Indonesia yang sudah jarang ada dan untuk melestarikan
budaya keroncong.
3.
Masalah mengenai hakikat dari
kehidupan manusia dalam ruang waktu (MW).
a. Orientasi ke masa kini.
Sebagai contoh, orang – orang kaya yang tingkat konsumsinya
tinggi hanya berpikir untuk masa kini. Mereka membeli sesuatu hanya untuk
digunakan atau hura – hura di masa sekarang. Mereka tidak berpikir untuk kedepannya
dan apakah kekayaan mereka bisa untuk mencukupi kebutuhannya di masa yang akan
datang. Biasanya orang yang berpikir seperti itu selalu kesusahan di masa
mendatang.
b. Orientasi ke masa lalu.
Sebagai contoh, orang – orang yang sudah tua dan selalu berpikir
dengan cara yang dulu. Mereka selau mengingat masa lalu mereka dan tidak
melihat ke depan. Jika dihadapi dengan persoalan mengenai masa kini atau masa
depan, mereka selalu kesulitan. Biasanya orang yang berpikir seperti ini
memiliki sifat keras kepala.
c. Orientasi ke masa depan.
Sebagai contoh, orang – orang yang sukses selalu berpikir
untuk masa depan hidup mereka. Namun, mereka juga belajar dari masa lalu mereka
untuk mendapatkan kemudahan di masa depannya. Biasanya orang yang berpikir
seperti ini selalu merencanakan segala sesuatunya dengan baik dan teratur.
Orang – orang yang seperti ini selalu mendapat kesuksesan di masa yang akan
datang walaupun dalam prosesnya sering mendapat kesusahan.
4.
Masalah mengenai hakikat dari
hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA).
a. Manusia tunduk kepada alam yang
dahsyat.
Sebagai contoh, BBM yang merupakan bahan bakar minyak.
Manusia di dunia sebagian besar menggunakan kendaraan yang berbahan bakar BBM.
Jika alam tidak menyediakan bahan untuk membuat BBM, maka manusia akan
kesulitan dan akhirnya tak berdaya karena kehendak alam.
Contoh lain adalah bencana alam. Sehebat – hebatnya manusia
dalam membuat bangunan, pasti bangunan tersebut akan runtuh juga oleh bencana
alam dan membuat manusia menjadi tak berdaya. Ia membuktikan bahwa manusia
masih tunduk kepada alam yang dahsyat.
b. Manusia menjaga keselarasan dengan
alam.
Sebagai contoh, penghargaan Adipura atau Kalpataru merupakan
contoh usaha manusia untuk menjaga keselarasan dengan alam melalui penghargaan
bagi daerah yang bisa menjaga alam agar tetap bersih dan sehat.
Contoh lain adalah PROKASIH (Program Kali Bersih). Ini
merupakan contoh dari pemerintah yang masih peduli terhadap kelestarian
lingkungan agar tetap terjaga dari hal – hal buruk.
c. Manusia berusaha menguasai alam.
Sebagai contoh, para penebang hutan liar di Kalimantan
berusaha memanfaatkan alam untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak
memikirkan akibat yang akan ditimbulkan dari kegiatan ilegal mereka tersebut
seperti terjadinya bencana alam.
Contoh lain adalah para pemburu binatang untuk diawetkan.
Mereka tidak berpikir bahwa binatang jika diburu akan dapat merusak habitat dan
ekosistem lingkungan alam. Mereka hanya berpikir jika mereka mendapatkan
binatang untuk diawetkan, mereka akan mendapatkan uang banyak.
5.
Masalah mengenai hakikat dari
hubungan manusia dengan sesamanya (MM).
a. Orientasi kolateral (horizontal),
rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa
gotong royong).
Manusia sejak lahir memiliki rasa untuk ingin hidup bersama
dengan yang lain. Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari orang
lain. Maka dari itu, manusia sangat bergantung pada manusia yang lain sehingga
saling membantu antara satu dengan yang lain.
Contohnya adalah bertetangga. Dalam bertetangga kita pasti
menjalin hubungan untuk saling membantu atau gotong royong. Suatu keluarga
tanpa adanya tetangga dalam daerahnya, maka akan kesulitan dalam menjalani
hidup. Jadi, manusia itu sejak lahir memiliki rasa ketergantungan terhadap
sesamanya.
b. Orientasi vertikal, rasa ketergantungan
kepada tokoh – tokoh atasan dan berpangkat.
Seseorang dalam hidup pasti membutuhkan orang atau tokoh
atasannya untuk membantunya dalam mengatasi permasalah hidup.
Sebagai contoh, seorang siswa SMA tidak akan bisa lulus Ujian
Nasional tanpa adanya bantuan bimbingan dari tokoh atasannya yaitu gurunya.
Jika guru tersebut tidak memberikan bimbingan kepadanya, maka murid tersebut
akan kesulitan dalam menghadapi Ujian Nasional dan akhirnya tidak lulus. Jadi,
manusia selain tergantung pada sesamanya yang sederajat, juga tergantung pada
manusia yang lebih tinggi derajatnya.
c. Individualisme menilai tinggi usaha atas
kekuatan sendiri.
Sebagai contoh, seorang pebulutangkis yang bermain tunggal
akan menganggap bahwa kemenangan dia merupakan hasil jerih payahnya yang
membuktikan dirinya lebih bagus dari pebulutangkis yang lain. Dia menganggap
bahwa dirinya tak perlu bantuan orang lain untuk bermain ganda agar menang.
Sikap ini sering kali menimbulkan rasa sombong yang akhirnya membuat orang lain
tidak suka terhadap sikapnya tersebut.
Penelitian mengenai makna hidup dan
rhakna kerja telah dilakukan tahun 1987 di 5 komunitas masyarakat Indonesia,
yaitu Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
dan Bali. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa ada 3 pandangan dasar tentang
makna hidup, yaitu: (1) hidup untuk bekerja, (2) hidup untuk beramal, berbakti,
dan (3) hidup untuk bersenang – senang. Sebanyak 89,1% berpandangan bahwa hidup
ialah untuk bekerja, sisanya berpandangan bahwa hidup itu untuk beramal dan
bersenang – senang. Untuk makna kerja diperoleh hasil bahwa kerja itu: (1)
untuk mencari nafkah dan mempertahankan hidup, (2) untuk anak cucu, (3) untuk
kehormatan, (4) untuk kepuasan dan kesenangan, (5) untuk amal ibadah. Makna
kerja untuk mencari nafkah mencapai 79,3% dan untuk anak cucu 63,7%. (Buchori
dan Wiladi, 1982).
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa hakikat hidup mempunyai pandangan bahwa hidup itu baik (meminjam konsep
Kluckhohn). Demikian pula hakikat kerja (karya) berpandangan bahwa karya itu
nafkah hidup dan kehormatan (meminjam konsep Kluckhohn). Karena penghayatan
agama yang mendalam, ada juga yang berpandangan bahwah idup dan kerja itu untuk
beramal. Pandangan ini, menunjukkan terarah kepada diri sendiri, tidak berorientasi
ke luar. Pandangan semacam ini sering disebut stoic: gelap, keras, dan suram,
sebagai akibat kecenderungan untuk berputar – putar dalam dirinya sendiri
(Buchori dan Wiladi, 1982).
Sistem – sistem nilai di Amerika
telah diteliti oleh Williams (1960). Diperoleh informasi adanya orientasi nilai
– nilai yang dianut oleh warganya, yaitu:
- Hasil usaha dan keberhasilan dipentingkan oleh pribadi.
- Menekankan pada aktivitas dan pekerjaan.
- Memandang dunia dari segi moral.
- Mementingkan mores (adat istiadat) kemanusiaan.
- Menghargai efisiensi dan kepraktiksan.
- Optimisme ke masa depan (kemajuan).
- Berorientasi kepada materi.
- Berkeyakinan pentingnya persamaan derajat.
- Menghargai kebebasan.
- Menyesuaikan diri terhadap dunia luar.
- Mementingkan segi rasio dan ilmu pengetahuan.
- Memiliki patriotisme.
- Berkeyakinan terhadap demokrasi.
- Berkepribadian individualistik.
- Mempunyai tema rasional dan superioritas kelompok.
Seluruh uraian tersebut dapat
memberikan kerangka berpikir dalam membedakan dan memahmi tentang nilai, watak
nilai, sistem nilai, dan orientasi nilai sosial atau budaya. Maka dalam
memahami nilai – nilai dasar manusia, kita dapat sekaligus memberi “cap”
tentang watak dan kompleksitas nilai – nilai dasar.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar